di
Desa Gunung Sahilan dan ditengah-tengah desa terlihat sebuah bangunan
berdiri kokoh dan antik ditengah kepadatan rumah penduduk. Bangunan ini
semuanya menggunakan dinding terbuat dari papan. Ya… sobat benar inilah
Istana itu. Sebuah istana kerajaan yang menjadi salah satu kebanggaan
masyarakat Kampar dan Riau. Karena memang, bangunan Istana ini merupakan
salah satu peninggalan sejarah dari kejayaan masyarakat Kampar Kiri.
Sebuah kisahpun terlahir dari mulut seorang pewaris kerajaan ini, Tengku Sulaiman namanya. Sewaktu kami temui beliau bercerita sebelum ajaran Islam masuk, kerajaan ini berpusat didaerah Gunung Kibul, yang masih dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal Brunei Darussalam. Terlihar dari foto disamping memang terlihat keindahan desain arsitek negara jiran ini. Ukiran menghiasi sekeliling bangunan dan desainnya unik bila dibandingkan dengan zaman sekarang *yaiyaLah* Hihihi…
Menurut cerita Tengku Sulaiman, dibagian dalam istana pun tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar. Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini dimasa lalu. Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik, lemari pakain kerajaan, dan lainnya.
Istana Gunung Sahilan (1700-1941) ini tidak hanya memiliki keindahan bangunan yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic pun terasa kental, “Didalam istana ini tersimpan sebuha payung kerajaan dan apa bila dibuka maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang pada musim kemarau akan terisi penih tapi kalau musim hujan gucinya kosong,” kata masyarakat setempat yang meyakininya.
Daerah bekas ibu kota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim disini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang, Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada umumnya berasal dari Suku Piliang.
Istana tidak hanya berfungsi pada massanya saja, hingg kini istana yang berada di Dusun Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh suku hadir disini.
Baiklah sobat hanya sepenggal cerita inilah yang bisa saya hadiahkan pada sobat, mohon maaf untuk foto-fotonya yang tidak bagus, itu diambil pakai kamera handphone. Kebetulan kameraku rusak. Hm… sekarang tujuan kita kemana nih??? Mari kembali kita lihat Daftar Wisata Kampar
Update:
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Pemugaran Hanya Janji Tinggal Janji
Janji pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2009-2011 mendatang. Sedangkan pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare). Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena, termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan. Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab, pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama. Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
sumber
Sebuah kisahpun terlahir dari mulut seorang pewaris kerajaan ini, Tengku Sulaiman namanya. Sewaktu kami temui beliau bercerita sebelum ajaran Islam masuk, kerajaan ini berpusat didaerah Gunung Kibul, yang masih dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal Brunei Darussalam. Terlihar dari foto disamping memang terlihat keindahan desain arsitek negara jiran ini. Ukiran menghiasi sekeliling bangunan dan desainnya unik bila dibandingkan dengan zaman sekarang *yaiyaLah* Hihihi…
Menurut cerita Tengku Sulaiman, dibagian dalam istana pun tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar. Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini dimasa lalu. Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik, lemari pakain kerajaan, dan lainnya.
Istana Gunung Sahilan (1700-1941) ini tidak hanya memiliki keindahan bangunan yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic pun terasa kental, “Didalam istana ini tersimpan sebuha payung kerajaan dan apa bila dibuka maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang pada musim kemarau akan terisi penih tapi kalau musim hujan gucinya kosong,” kata masyarakat setempat yang meyakininya.
Daerah bekas ibu kota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim disini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang, Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada umumnya berasal dari Suku Piliang.
Istana tidak hanya berfungsi pada massanya saja, hingg kini istana yang berada di Dusun Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh suku hadir disini.
Baiklah sobat hanya sepenggal cerita inilah yang bisa saya hadiahkan pada sobat, mohon maaf untuk foto-fotonya yang tidak bagus, itu diambil pakai kamera handphone. Kebetulan kameraku rusak. Hm… sekarang tujuan kita kemana nih??? Mari kembali kita lihat Daftar Wisata Kampar
Update:
Sejarah Singkat Kerajaan Gunung Sahilan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Pemugaran Hanya Janji Tinggal Janji
Janji pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2009-2011 mendatang. Sedangkan pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare). Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena, termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan. Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab, pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama. Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar