di
Desa Gunung Sahilan dan ditengah-tengah desa terlihat sebuah bangunan
berdiri kokoh dan antik ditengah kepadatan rumah penduduk. Bangunan ini
semuanya menggunakan dinding terbuat dari papan. Ya… sobat benar inilah
Istana itu. Sebuah istana kerajaan yang menjadi salah satu kebanggaan
masyarakat Kampar dan Riau. Karena memang, bangunan Istana ini merupakan
salah satu peninggalan sejarah dari kejayaan masyarakat Kampar Kiri.
Sebuah
kisahpun terlahir dari mulut seorang pewaris kerajaan ini, Tengku
Sulaiman namanya. Sewaktu kami temui beliau bercerita sebelum ajaran
Islam masuk, kerajaan ini berpusat didaerah Gunung Kibul, yang masih
dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan
Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal
Brunei Darussalam. Terlihar dari foto disamping memang terlihat
keindahan desain arsitek negara jiran ini. Ukiran menghiasi sekeliling
bangunan dan desainnya unik bila dibandingkan dengan zaman sekarang
*yaiyaLah* Hihihi…
Menurut cerita Tengku Sulaiman, dibagian
dalam istana pun tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar.
Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini dimasa lalu.
Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik,
lemari pakain kerajaan, dan lainnya.
Istana
Gunung Sahilan (1700-1941) ini tidak hanya memiliki keindahan bangunan
yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic pun terasa kental,
“Didalam istana ini tersimpan sebuha payung kerajaan dan apa bila dibuka
maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang
pada musim kemarau akan terisi penih tapi kalau musim hujan gucinya
kosong,” kata masyarakat setempat yang meyakininya.
Daerah
bekas ibu kota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim
disini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang,
Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada
umumnya berasal dari Suku Piliang.
Istana tidak hanya
berfungsi pada massanya saja, hingg kini istana yang berada di Dusun
Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk
musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh
suku hadir disini.
Baiklah sobat hanya sepenggal cerita
inilah yang bisa saya hadiahkan pada sobat, mohon maaf untuk
foto-fotonya yang tidak bagus, itu diambil pakai kamera handphone.
Kebetulan kameraku rusak. Hm… sekarang tujuan kita kemana nih??? Mari
kembali kita lihat Daftar Wisata Kampar
Update:
Sejarah Singkat Kerajaan Gunung Sahilan
Pada
mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya,
berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung
Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak
terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di
sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung
Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan
bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa
keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering
disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama
Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung
Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan
orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan
Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai
mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung
Ibul.
“Cerita soal Kerajaan Gunung Ibul memang tidak
memiliki bukti kuat seperti kerajaan Gunung Sahilan sekarang. Sebab kami
mendapatkannya dari cerita secara turun-temurun tapi kami percaya
karena memang bukti-buktinya masih ada,” ungkap Tengku Rahmad Ali yang
tinggal di sisi kanan, luar pagar komplek istana.
Diakui
keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga
mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa
disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali,
Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal
kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang
sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang
pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat
untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan
mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa
keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan
jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari
beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang
sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam
suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus
diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut
dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti
kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari
Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku
Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan
itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi.
Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta
anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan
kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi
tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan
itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung
Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan
melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang
berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu
dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu
tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri
ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk
adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini
berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak
saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan
keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan
Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan
(TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810)
TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak
didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan
raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban
amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD
Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku
Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung
(1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan
Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan
itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak
saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini
dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling
tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam
lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai
disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri
untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat
disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Pemugaran Hanya Janji Tinggal Janji
Janji
pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat
tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga
kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun
janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung
terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu
kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan
perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan
acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui
Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan
pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk
dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan
kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk
masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali
dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami
menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk
aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru
bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali
sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat
Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu
menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam
waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2009-2011 mendatang. Sedangkan
pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana
tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan
fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare).
Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena,
termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti
rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka
masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya
Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya
sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan
kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara
itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah
Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk
istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah
layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan
untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada
anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan
Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti
dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan
seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan.
Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang
masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan
sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah
bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar
terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan
janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab,
pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi
istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris
kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama.
Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku
Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela
menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat
berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka
hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka
mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
sumber