Biasanya dari Kota Pekanbaru menuju Kampung Gunung Sahilan memakan waktu sekitar satu jam. setelah melewati beberapa desa di perhentian raja dan kamparkiri tengah, kemudian kalau hendak ingin menuju keistana gunung sahilan kita harus belok kiri di desa kebundurian pas nya di disimpang kaco, masyarakat sekitar menyebut nya begitu, kira2 6 (enam) KM masuk kedalam baru lah kita sampai nanti nya di desa gunung sahilan, dimana disitu lah terletak istana kerajaan gunung sahilan.
Sebuah kisahpun terlahir dari mulut seorang pewaris kerajaan ini, Tengku Sulaiman namanya. Sewaktu kami temui beliau bercerita sebelum ajaran Islam masuk, kerajaan ini berpusat didaerah Gunung Kibul, yang masih dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal Brunei Darussalam. Terlihar dari foto disamping memang terlihat keindahan desain arsitek negara jiran ini. Ukiran menghiasi sekeliling bangunan dan desainnya unik bila dibandingkan dengan zaman sekarang.
Menurut cerita Tengku Sulaiman, dibagian dalam istana pun tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar. Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini dimasa lalu. Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik, lemari pakain kerajaan, dan lainnya.
Istana Gunung Sahilan (1700-1941) ini tidak hanya memiliki keindahan bangunan yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic pun terasa kental, “Didalam istana ini tersimpan sebuha payung kerajaan dan apa bila dibuka maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang pada musim kemarau akan terisi penih tapi kalau musim hujan gucinya kosong,” kata masyarakat setempat yang meyakininya.
Daerah bekas ibu kota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim disini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang, Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada umumnya berasal dari Suku Piliang.
Istana tidak hanya berfungsi pada massanya saja, hingg kini istana yang berada di Dusun Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh suku hadir disini.
Baiklah sobat hanya sepenggal cerita inilah yang bisa saya hadiahkan pada sobat, mohon maaf untuk foto-fotonya yang tidak bagus, itu diambil pakai kamera handphone. Kebetulan kameraku rusak. Hm… sekarang tujuan kita kemana nih??? Mari kembali kita lihat Daftar Wisata Kampar
Update:
Sejarah Singkat Kerajaan Gunung Sahilan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Sepertinya masih diperlukan sumber-sumber informasi lain yg dpt mendukung tentang kajian sejarah dan asal-muasal kerajaan serta bentuk asal istana darussalam tersebut dahulunya/sebelumnya.
BalasHapusTrims.