KAMPAR (RP) - Banjir bandang melanda Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar sehingga merendam sepuluh desa hingga malam tadi.
Sementara dua warga dilaporkan hanyut dan seorang di antaranya ditemukan meninggal.
Dua lainnya sedang dalam pencarian. Data sementara, sebelas rumah hanyut. Desa yang terendam itu adalah Gajah Bertalut, Aur Kuning, Tanjung Beringin, Pangkalan Serai, Sebayang Jaya, Tanjung Belit, Tanjung Belit Selatan, Muarobio, Batu Sanggan dan Terusan.
‘’Sampai kini warga masih mencari dua korban lagi yang dilihat warga hanyut dan minta tolong. Namun karena air cukup deras, warga tak bisa mengejar,’’ ujar Camat Kampar Kiri Hulu, Martius pada Riau Pos melalui ponselnya Jumat (25/11).
Dijelaskannya, hujan deras di Kecamatan Kampar Kiri Hulu sejak Kamis siang membuat air sungai meluap. Arus air yang deras membuat warga tambah tak siap menghindarinya.
Tiga korban yang belum diketahui identitasnya ini adalah warga yang memang tinggal di kebun karet dan bekerja sebagai penakik getah di kebun warga. Begitu air menerjang, mereka tak tahu hingga akhirnya hanyut. ‘’Ada beberapa warga yang melihat mereka hanyut dan berusaha menolong,’’ ujarnya.
Sementara itu, 35 rumah di Desa Domo Kampar Kiri Hulu juga terendam banjir. Informasi yang dihimpun Riau Pos, Jumat (25/11), banjir mulai terjadi sejak Kamis (24/11) petang. Tapi kondisi terparah terjadi pada Jumat pagi sekitar pukul 05.00 WIB, sehingga sempat membuat warga panik.
Sebelas rumah yang hanyut itu terdiri dari 6 rumah di Desa Aur Kuning, empat di Desa Batu Sanggan dan satu di Desa Sebayang Jaya. Satu SMP juga dilaporkan terendam banjir.
Tiga warga yang hanyut merupakan warga Desa Gajah Bertalut. Banjir bandang yang berlangsung cukup cepat dan singkat itu mengakibatkan lebih dari 60 ton karet warga yang sudah dipanen hanyut terbawa arus.
Banjir bandang serupa pernah terjadi pada 2006. Namun kondisi 2011 ini lebih parah.
‘’Banjirnya memang berlangsung hanya dalam hitungan jam, tapi dampaknya begitu besar ke masyarakat,’’ ungkap Sekretaris Camat Kampar Kiri Hulu, Jurizal pada Riau Pos.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kampar, Ir Fauzi Nurta MT kemarin langsung memimpin penyaluran bantuan menuju lokasi banjir bandang.
‘’Begitu dapat laporan, tim BPBD Pemkab Kampar bersama pihak terkait langsung menuju lokasi dan membawa boat, tenda, dapur umum,’’ ungkapnya. Tim yang turun terdiri dari 10 anggota Tagana, lima dari Dinas Sosial Tenaga Kerja (Disosnaker), enam dari BPBD dan lima relawan.
Menurut Camat Kampar Kiri, Febrinaldi Tridarmawan SSTP MSi, 35 rumah penduduk di pinggir Sungai Sebayang tepatnya di Desa Domo juga turut terendam banjir. Warga yang menempati 20 rumah, sudah mengungsi ke rumah kerabat. Desa Padang Sawah dan Desa Teluk Paman Timur juga mulai dimasuki banjir. ‘’Kami tetap saling koordinasi untuk siaga bersama Linmas, Tagana dan aparat desa,’’ ujarnya.
Ditambahkan Febri, beberapa desa yang juga rentan banjir di daerah aliran Sungai Sebayang selain desa di atas adalah Sungai Liti dan Kuntu. ‘’Kini kondisinya memang sangat tergantung kondisi cuaca. Jika curah hujan tinggi, kemungkinan banjir bisa terjadi lagi,’’ tukasnya.
Hingga pukul 20.00 WIB tadi malam, banjir sudah makin meluas di Kampar Kiri. Lebih kurang 175 rumah di Desa Kuntu terendam juga puluhan hektare lahan pertanian.
Informasi dari warga bernama Dodi, 60 kepala keluarga di Desa Tanjung Belit Kampar Kiri Hulu juga terendam banjir kiriman dari hulu sungai. Sebagian besar warga di desa yang terkena banjir yang bermukim di Lipatkain berkumpul di jembatan Rakik Godang, Lipatkain Selatan melihat benda-benda berharga yang hanyut yang masih mungkin diselamatkan.
Banjir juga dialami Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri setinggi 1,5 meter. Sekdes Kuntu, Afrianto Agus menyatakan, banjir mulai menggenangi desa sejak pagi Jumat (25/11). Hingga kini tercatat 150 rumah digenangi banjir.
‘’Namun belum ada yang mengungsi karena umumnya warga membangun loteng untuk menyimpan barang,’’ ujarnya.
Meski halaman sekolah juga digenangi banjir, sampai Jumat, siswa masih sekolah. Jika banjir masih akan naik, baru sekolah diliburkan. ‘’Sementara yang mengkhawatirkan adalah kondisi kebun dan ternak warga yang juga direndam air. Banyak ternak hilang,’’ ujarnya.
Tim Tertahan di Gema
Tim penanggulanan bencana yang terdiri dari berbagai instansi terkait di Kampar dan dari Basarnas Provinsi Riau tertahan di Desa Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Tim belum bisa menembus lokasi banjir di Kampar Kiri Hulu karena derasnya arus sungai yang sangat berisiko dilalui.
Menurut Kapolres Kampar AKBP Trio Santoso melalui Kapolsek Kamparkiri, Kompol Julian Iskandar, hasil pengumpulan data pihak kepolisian, hingga pukul 19.45 WIB tadi malam, jumlah desa tenggelam ada 8.
Yaitu Gajah Bertalut, Aur Kuning, Tanjung Beringin, Pangkalan Serai, Sebayang Jaya, Tanjung Belit Selatan, Muarobio dan Batu Sanggan.
11 rumah hanyut masing-masing 6 di Aur Kuning, 1 di Sebayang Jaya, 4 di Batu Sanggan. ‘’Korban manusia, dua hilang, satu meninggal. Kerugian lain karet lebih kurang 60 ton. Sampai malam ini (tadi malam, red) korban yang hilang belum ditemukan,’’ ujarnya.
Dalam penanggulangan banjir bandang, tim menemui hambatan di lapangan antara lain transportasi terputus karena boat yang tersedia tak mampu menembus derasnya arus sungai. Lokasi bencana juga tak dapat dilalui lewat jalan darat karena memang belum ada. Sinyal telepon seluler pun tak terjangkau.
‘’Sambil menunggu banjir surut, seluruh tim masih tertahan di Desa Gema Kecamatan Kampar Kiri Hulu dan telah mengadakan posko penanggulangan bencana alam. Di antaranya ada Polri, TNI, Ketua Komisi IV DPRD Kampar Repol SAg, Basarnas Riau, Tagana Dinas Sosial Tenaga Kerja (Disosnaker) Kampar, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kampar, tim medis dan masyarakat setempat,’’ ungkapnya.
Pemkab Kirim Perlengkapan Bencana
Banjir bandang sudah diantisipasi Pemkab Kampar dengan menyiapkan perlengkapan penanggulangan bencana.
Menurut Wakil Bupati Kampar Teguh Sahono, Pemkab sudah mengirim tenda, speed boat, logistik, makanan, tim medis dan tim terpadu penanggulangan bencana. ‘’Insya Allah sore ini (Jumat kemarin, red) sudah kita kirim,’’ kata Teguh.
Salah seorang tauke karet pribumi di Desa Pulau Pencong, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Muja mengakui, banjir bandang telah menghanyutkan sekitar 60 ton karet ojol petani yang diapungkan di Sungai Sebayang.
‘’Harga karet ojol sekarang sekitar Rp15.000 per Kg. Maka kerugian petani karet sekitar Rp900 juta,’’ ujar Muja.
Dikatakannya, kejadian ini lebih besar dibanding 1978. Untuk mencapai ke lokasi tak bisa jalan darat. Harus pakai speed boat dari hilir menuju hulu Sungai Sebayang yang melawan arus deras. Jalan darat dari Desa Kuntu ke Desa Gema sudah diaspal hotmix.
Tapi dari Desa Gema ke desa-desa yang terkena banjir bandang di hulu Sungai Sebayang, dulunya sempat ada proyek pembukaan jalan. Namun akhirnya ditutup karena dianggap ilegal dan masuk dalam suaka Bukit Rimbang Baling. Akibatnya, desa-desa di hulu ini pun terisolir.
BPDBD Riau Turunkan Tim Reaksi
Dapat laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kampar, tim BPBP Provinsi Riau langsung menurunkan tim reaksi cepat, bergabung dengan tim reaksi cepat BPBD Kampar. Di lokasi sudah tergabung tim kesehatan, Kesbang Linmas Kabupaten Kampar dan Badan SAR.
Menurut Kepala BPBD Riau, Syamsurizal, untuk peralatan sudah disiapkan boat, tenda, dapur umum, dan keperluan lainnya. ‘’Kondisi sekarang sudah mulai surut. Yang kita waspadai yang di Gunung Sahilan, diprediksi akan banjir lagi,’’ jelasnya, Jumat (25/11) dari TKP.
Bangko Dikepung Banjir
Sementara dari Kabupaten Rokan Hilir dilaporkan, sejumlah kawasan pemukiman penduduk di Kota Bagansiapi-api mengalami banjir. Itu karena curah hujan yang tinggi sepekan terakhir.(why/rdh/azf/gus/*3/*1)
Sumber
Sabtu, 26 November 2011
Pemugaran Istana Gunung Sahilan Hanya Janji Tinggal Janji
Janji pemugaran istana Gunung Sahilan sudah didengar keturunan dan masyarakat tempatan sejak masa Soeharto menjabat sebagai Presiden RI Kedua. Hingga kini sudah bergonta-ganti presiden, gubernur dan bupati. Namun janji-janji yang diberikan semacam penyemangat belaka. Tak kunjung terealisasi hingga hari ini. Bahkan istana makin rapuh dan satu-persatu kayu-kayunya berjatuhan ke tanah. Apalagi, dalam perayaan adat dan perayaan agama, istana tetap dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan acara.
Beberapa waktu silam, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata (Budsenipar) melakukan pembangunan baru istana tepat di belakang istana asli. Sayangnya, bentuk dan motifnya sangat jauh berbeda dengan bentuk asli sehingga keturunan kerajaan menolak dan tidak mau menerimanya. Bangunan baru berbentuk masjid dengan lima kubah itu dibiarkan saja berdiri dan sesekali dimanfaatkan untuk ruang pertemuan.
“Bagaimana pula kami menerima bangunan baru itu, jelas-jelas tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Saya juga tak habis pikir, masak mereka tidak bisa meniru bentuk aslinya yang jelas-jelas ada di depannya?,” aku Tengku Rahmad Ali sembari menunjuk bangunan baru yang terletak di samping rumahnya.
Camat Gunung Sahilan yang sempat diwawancarai Riau Pos beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa renovasi istana akan dilaksanakan pemerintah dalam waktu dekat, minimal dalam anggaran APBD 2010-2011 mendatang. Sedangkan pembebasan lahan dilaksanaka dalam 2009 lalu. Pembangunan istana tersebut dari hasil sharing budget antara Pemprov Riau (pembangunan fisik istana) dan Pemkab Kampar (pembebasan lahan seluas satu hektare). Paling tidak, dalam pembebasan lahan sebanyak 8-10 rumah yang terkena, termasuk rumah Tengku Rahmad Ali. Yang terkena akan mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan harga tanah dan bangunan rumah mereka masing-masing.
“Renovasi istana dan pembangunan masjid raya Gunung Sahilan, menurut rencananya akan dimulai pada 2010 ini. Bentuknya sudah ada dan akan disepakati terlebih dahulu bersama keturunan kerajaan, ninik mamak dan pemuka masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penggalian dan Inventarisasi Bidang Sejarah Kepurbakalaan yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Darliana menjelaskan, setakat ini, khusus untuk istana Gunung Sahilan baru dalam proses studi teknis. Artinya, apakah layak atau tidak untuk direnovasi. Setelah selesai barulah bisa diajukan untuk pelaskanaannya. Untuk studi teknis arkeologi sudah diajukan pada anggaran APBD 2010 yang jatuh pada tahun ini.
Dijelaskan Darliana, studi teknis itu meliputi tentang teknologi pembuatan seperti dinding kayu, apakah menggunakan pasak atau paku. Struktur bangunan seperti apa, sejarahnya bagaimana, bentuk dan bahan yang digunakan. Selain itu, juga harus dikaji tingkat kerusakannya berapa persen yang masih bisa diselamatkan dan berapa persen harus diganti karena lapuk dan sebagainya. “Studi teknis ini harus memperkuat pemugaran situs sejarah bukan malah melemahkannya. Yang diganti nantinya harus ditandai agar terlihat yang lama dan yang baru,” katanya.
Apapun alasan dan janji yang terlanjur diungkapkan baik oleh pemprov maupun pemkab, pemugaran harus segera dilaksanakan sebelum terlambat. Pasalnya, kondisi istana semakin uzur dan rapuh. Harapan masyarakat, terutama pewaris kerajaan, entah itu namanya pemugaran atau renovasi sudah cukup lama. Namun belum juga terwujud menjadi kenyataan.
Karenanya, Tengku Arifin, Tengku Rahmad Ali, Utama Warman, bahkan Nursyam yang rela menghabiskan waktu menemani Riau Pos selama di kampung itu sangat berharap mimpi mereka menjadi nyata. Bukan seperti selama ini, mereka hanya menelan ludah saat janji-janji diumbar di depan publik. Mereka mengharap bukti, bukan janji kosong melompong seperti istana saat ini.
by : ichin
by : ichin
Ikan, Madu dan Adat Gunung Sahilan
Sore yang cerah menyambut kedatangan para aktivis River Defender di Desa Sahilan Darussalam, Kecamatan Gunung Sahilan. Kelelahan yang mendera selama berperahu di bawah sengatan matahari segera hilang saat haluan menyentuh bibir pantai berlumpur di desa ini. Empat belas orang aktivis River Defender segera menghambur ke darat untuk melepas lelah.
Sebuah warung sederhana menyambut kami dengan suguhan khas “es madu” yang segar. Kepala yang pening akibat sengatan matahari (heat stroke) pun terobati. Minuman segar ini memang bukan minuman ringan biasa
Madu yang jadi bahan utamanya telah dikenal luas sebagai obat dan minuman kesehatan. Saat kita meminum es madu, maka kita akan mendapatkan efek berganda, yaitu lepasnya dahaga serta kesehatan.
Gunung Sahilan adalah salah satu daerah penghasil madu alam yang cukup terkenal. Warga setempat telah memelihara pohon madu (sialang) sejak berpuluh bahkan ratus tahun yang lalu. Daerah ini tampaknya telah dianugerahi oleh Sang Pencipta menjadi daerah penghasil madu. Jika kita menyusuri sungai di sekitar Gunung Sahilan, maka dengan mudah kita dapat melihat puluhan koloni lebah madu yang bersarang pada cabang-cabang pohon Rengas (Glutta renghas) raksasa di tepian sungai. Pada sebatang pohon Rengas, kita dapat menemukan lebih dari sepuluh sarang lebah madu. Sementara itu pohon Rengas dapat dijumpai di hampir setiap tempat di tepian Sungai Kampar Kiri. Berdasarkan penuturan dari beberapa warga setempat, produksi madu dari daerah Gunung Sahilan dapat mencapai 10 ton setiap bulannya. Sebuah angka produksi madu yang luar biasa melimpah.
Setiap pohon madu di sini dilindungi secara adat. Jika ada yang menebangnya, maka ia akan terkena sanksi adat dengan nilai yang cukup besar. Orang yang terkena sanksi harus menyediakan satu ekor kerbau untuk disembelih sebagai gantinya. Pengenaan sanksi ini sendiri harus dilakukan dengan persetujuan lembaga pemegang aturan adat, yaitu Ninik Mamak.
Cerita madu ini membuat para aktivis River Defender memperpanjang waktu persinggahannya di Gunung Sahilan, hingga hari Senin (7 Juni 2010) siang. Ketertarikan para aktivis juga didorong oleh cerita-cerita lain yang jarang diketahui orang tentang tempat ini.
Di sini pernah ada sebuah kerajaan tua yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan. Dari penuturan Kepala Desa Sahilan Darussalam dan beberapa orang tua yang ditemui, kerajaan ini telah ada bahkan sebelum berdirinya kota Pekanbaru. Sayangnya keberadaan kerajaan ini tidak dikenal luas dalam cerita sejarah umum. Padahal di tempat ini masih bisa dijumpai adanya istana kerajaan yang sampai sekarang masih dipergunakan sebagai pusat kegiatan-kegiatan adat.
Adat memang masih dipegang teguh oleh masyarakat Gunung Sahilan, tak hanya untuk urusan pernikahan dan kematian. Kegiatan mencari ikan juga dilindungi oleh aturan adat. Hal ini mungkin terjadi karena sebagian besar warga Gunung Sahilan tak bisa lepas dari keberadaan Sungai Kampar Kiri. Lebih dari 50% penduduknya menggantungkan kehidupan ekonominya pada kegiatan mencari ikan di sungai sejak dahulu kala. Sebagai contoh, adanya pengenaan sanksi adat pada orang yang melakukan pengambilan ikan dengan cara merusak seperti penggunaan racun dan listrik di wilayah ini. Sanksinya adalah satu ekor kerbau.
Setiap 5 tahun sekali masyarakat Gunung Sahilan menyelenggarakan perhelatan adat besar yang terkait dengan kelangsungan hidup nelayan sungai serta kelestarian sungai itu sendiri. Kegiatan ini disebut dengan nama “Menyemah Rantau”. Dalam kegiatan ini seluruh warga masyarakat berkumpul bersama dalam sebuah acara yang mirip dengan selamatan atau kenduri. Seekor kerbau akan disembelih untuk acara ini. Kemudian kepala kerbau tersebut dihanyutkan di batas hulu kenegerian Gunung Sahilan di Sungai Kampar Kiri.
Itu lah Gunung Sahilan, sebuah wilayah adat kenegerian yang cukup unik di sepanjang Sungai Kampar Kiri. Keberadaan sarang lebah madu di tepian sungai ini seakan jadi penanda bahwa ekosistem sungai telah menyediakan beragam hasil alam pada masyarakat Gunung Sahilan. Begitu pentingnya madu dan ikan sehingga membuat dua produk lokal ini pun harus diatur pengelolaannya secara adat. Selama beratus tahun adat telah berperan penting bagi kehidupan orang-orang Gunung Sahilan. Wajar bila hingga kini aturan adat yang menyangkut ikan sungai dan madu tetap dipegang teguh.
Semoga aturan adat seperti ini mampu bertahan dalam situasi sekarang. Situasi dimana hutan dan sungai semakin rusak, buruknya tingkat perekonomian masyarakat, dan rendahnya kepedulian orang akan upaya pelestarian lingkungan. Setidaknya adat Gunung Sahilan dapat menjamin perbaikan kehidupan ekonomi nelayan sungai dan kelestarian Sungai Kampar Kiri.
Jumat, 25 November 2011
Temuan Sumur Gas Di Gunung Sahilan
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Riau mengaku belum mengetahui adanya penemuan sumur gas di Desa Kebun Durian, Kecamatan Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar. Kendati demikian, Distamben Riau berinisiatif untuk menurunkan tim ahli yang akan melakukan pengkajian di lapangan.
“Saya belum terima laporan secara detail. Coba nanti saya cek dulu. Jika benar dalam dua hari ini kita akan turunkan tim ahli untuk melihat kondisi tersebut,” ungkap Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau, Husni Hasan, di Pekanbaru, Senin (25/4/2011).
Menurutnya, langkah pengkajian oleh tim yang berkompeten di bidangnya mutlak dilakukan. Hal ini untuk melihat potensi dari sumber gas tersebut. Selain itu, juga bertujuan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat menjadi imbas dari kondisi yang terjadi di Kabupaten Kampar itu.
Ia mengatakan, kejadian serupa juga pernah ditemukan warga di Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari temuan di Bengkalis itu, lokasi yang diinformasikan memang positif mengandung potensi sumber gas bumi.
Katanya, pihaknya akan terus melakukan pengawasan. Kemudian, warga diminta pro aktif untuk melaporkan setiap ada kejanggalan yang berhubungan dengan sumber energi di lingkungannya.
“Kita juga akan mencari langkah konkret terkait penemuan sumur gas itu. Terutama kemungkinan untuk memanfaatkan dan pengembangan potensi itu di Provinsi Riau,” imbuhnya seperti dilansir Riau Pos, Selasa (26/4/2011).
Masih Keluarkan Gas
Hingga Senin (25/4/2011) kemarin, lokasi galian sumur bor di KM 61 Desa Kebun Durian, Kecamatan Gunung Sahilan, masih mengeluarkan gas. Namun, api yang sempat muncul di lokasi sudah padam.
Hal ini diakui Kepala Desa Kebun Durian, Alvi Rubama, Senin (25/4/2011). Menurutnya, agar tidak muncul lagi api di lokasi tersebut, warga sudah diingatkan untuk tidak menghidupkan api di sekitar galian.
Pada kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Kampar, Jalinus didampingi Kabid Pertambangan Umum Afdal Amir mengatakan, pihaknya berencana akan turun ke lokasi dengan Distamben Provinsi dan BP Migas, Selasa (26/4/2011) ini.
“Rencananya memang Senin (25/4/2011) kami turun ke lokasi, tetapi karena agenda lain yang harus kami hadiri, maka akhirnya diputuskan untuk turun ke Kebun Durian, Selasa (26/4/2011),” ujarnya.(*)
Parlindungan | Edited by Rbc
Objeck Wisata Istana Gunung Sahilan
Biasanya dari Kota Pekanbaru menuju Kampung Gunung Sahilan memakan waktu sekitar satu jam. setelah melewati beberapa desa di perhentian raja dan kamparkiri tengah, kemudian kalau hendak ingin menuju keistana gunung sahilan kita harus belok kiri di desa kebundurian pas nya di disimpang kaco, masyarakat sekitar menyebut nya begitu, kira2 6 (enam) KM masuk kedalam baru lah kita sampai nanti nya di desa gunung sahilan, dimana disitu lah terletak istana kerajaan gunung sahilan.
Sebuah kisahpun terlahir dari mulut seorang pewaris kerajaan ini, Tengku Sulaiman namanya. Sewaktu kami temui beliau bercerita sebelum ajaran Islam masuk, kerajaan ini berpusat didaerah Gunung Kibul, yang masih dalam wilayah daerah Kampar Kiri. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Darussalam. Desain dan interior istana dikerjakan oleh arsitek asal Brunei Darussalam. Terlihar dari foto disamping memang terlihat keindahan desain arsitek negara jiran ini. Ukiran menghiasi sekeliling bangunan dan desainnya unik bila dibandingkan dengan zaman sekarang.
Menurut cerita Tengku Sulaiman, dibagian dalam istana pun tidak jauh beda indahnya dengan tampak dari luar. Design interiornya menggambarkan kemegahan istana ini dimasa lalu. Tempat tidur raja yang terbuat dari besi, tombak kerajaan, keramik, lemari pakain kerajaan, dan lainnya.
Istana Gunung Sahilan (1700-1941) ini tidak hanya memiliki keindahan bangunan yang bernuansa melayu yang kental, namun hawa magic pun terasa kental, “Didalam istana ini tersimpan sebuha payung kerajaan dan apa bila dibuka maka daerah Gunung Sahilan ini akan turun hujan. Juga sebuah guci yang pada musim kemarau akan terisi penih tapi kalau musim hujan gucinya kosong,” kata masyarakat setempat yang meyakininya.
Daerah bekas ibu kota kerajaan Darussalam ini terdapat tujuh suku yang bermukim disini. Yaitu Suku Domo, Suku Mandailing, Suku Petopang, Suku Piliang, Suku Melayu Koto, Suku Caniago, dan Suku Melayu. Keluarga istana pada umumnya berasal dari Suku Piliang.
Istana tidak hanya berfungsi pada massanya saja, hingg kini istana yang berada di Dusun Koto Dalam Desa Gunung Sahilan ini masih tetap dipergunakan untuk musyawarah adat, atau pesta rakyat. Seluruh pemuka masyarakat dari tujuh suku hadir disini.
Baiklah sobat hanya sepenggal cerita inilah yang bisa saya hadiahkan pada sobat, mohon maaf untuk foto-fotonya yang tidak bagus, itu diambil pakai kamera handphone. Kebetulan kameraku rusak. Hm… sekarang tujuan kita kemana nih??? Mari kembali kita lihat Daftar Wisata Kampar
Update:
Sejarah Singkat Kerajaan Gunung Sahilan
Pada mulanya, Gunung Sahilan bernama Gunung Ibul. Letak perkampungannya, berjarak satu kilometer dari kampung sekarang ini. Di kawasan Gunung Ibul itu, masih terdapat beberapa bekas situs sejarah yang juga tidak terawat dan nyaris hilang sejak perkebunan kelapa sawit menjamur di sepanjang Sungai Kampar. Di masa Gunung Ibul, atau Kerajaan Gunung Sahilan Jilid I, masyarakat masih beragama Budha, dibuktikan dengan bekas-bekas kandang babi dan tapak-tapak benteng.
Beberapa keturuna raja terakhir, Tengku Yang Dipertuan (TYD) atau lebih sering disebut Tengku Sulung (1930-1941) seperti Tengku Rahmad Ali dan Utama Warman, kerajaan Gunung Sahilan Jilid I diawali dengan Kerajaan Gunung Ibul yang merupakan kerajaan kecil. Menurut penuturan nenek moyang dan orang tua mereka, Kerajaan Gunung Ibul ada setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya. Pembesar-pembesar istana berpencar satu persatu dan mulai mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya di kawasan Gunung Ibul.
Diakui keduanya, cerita tentang Gunung Ibul hanya sedikit sekali sehingga mereka terus berupaya untuk mencari lebih dalam lagi untuk bisa disambungkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Baik Tengku Rahmad Ali, Utama Warman dan Tengku Arifin bin Tengku Sulung memulai kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.
Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Namun perlu diingat, kata mereka, bahwa sebelum kerajaan jilid II terbentuk, masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh.
“Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Anak raja pertama dan kedua meninggal saat disembah seluruh masyarakat. Keadaan negeri menjadi tidak menentu dan diutuslah seorang lagi untuk datang ke kerajaan mapan itu guna mencari siapa yang pantas di-raja-kan di negeri Gunung Sahilan.
“Saat itu, utusan negeri mendapatkan kabar dan melihat langsung bahwa anak raja yang bisa di-raja-kan di sini yang berkulit hitam dan kurang molek rupanya. Setelah mendapat izin, anak itu dibawa ke Gunung Sahilan dan di-raja-kan. Karena masih kecil anak itu tidak datang sendiri tetapi membawa pembesar istana lainnya ke negeri ini. Saat itu pula mulailah disusun, peraturan pemerintahan, termasuk adat-istiadat raja-raja jadilah sekarang garis keturunan di negeri ini berdasarkan ibu atau matrilineal,” tutur Tengku Arifin panjang lebar.
Sejak saat itu, raja-raja yang diangkat bukan anak kandung raja melainkan keponakannya. Berturut-turut raja yang pernah didaulat di Kerajaan Gunung Sahilan antara lain Raja I (1700-1740) Tengku Yang Dipertuan (TYD) Bujang Sati, Raja II (1740-1780) TYD Elok, Raja III (1780-1810) TYD Muda, Raja IV (1810-1850) TYD Hitam. Khusus raja keempat tidak didaulat seperti raja sebelumnya sebab TYD Hitam bukan anak kemenakan raja Muda, melainkan anak kandungnya. Namun TYD Hitam sebagai pengemban amanah memimpin selama kurang lebih 40 tahun. Raja V (1850-1880) TYD Abdul Jalil, Raja VI (1880-1905) TYD Daulat, Raja VII (1905-1930) Tengku Abdurrahman dan Raja VIII atau terakhir TYD Sulung atau Tengku Sulung (1930-1941).
“Kerajaan ini tidak pernah berperang dengan Belanda dan kami tidak merasakan bagaimana kejamnya akibat penjajahan itu. Pihak kerajaan dan Belanda bahkan membuat kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Hanya saja, di masa pendudukan Jepang kerajaan ini dibekukan dan diganti dengan distrik,” kata mantan guru tersebut.
Paling tidak, masih banyak penuturan yang penting untuk dikaji lebih dalam lagi dari ketiga nara sumber tersebut. Namun kali ini, cukup sampai disitu saja, terutama mengulas tentang sejarah dan asal-muasal kerajaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sumber-sumber lain juga membuka diri untuk menjelaskan informasi yang dimilikinya dan barangkali dapat disambung kembali dalam tulisan yang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)